Sungguh tak terpahamilah cara Tuhan mendidik dan menyelami hati
Saya tidak dibesarkan dalam tradisi Katolik karena Bapak ibu saya penganut Kejawen (agama tradisional Jawa). Keluarga besar ayah saya kebanyakan beragama Kristen Protestan sedang dari sisi ibu mereka adalah muslim yang taat. Pada saat kelas lima SD, mulailah saya sholat dan berpuasa sebagaimana layaknya anak-anak yang lain tanpa ada yang menyuruh dan menuntun. Saya kira itulah benih kerinduan awal untuk berrelasi dengan Tuhan Pencipta.
Lulus SD, saya melanjutkan sekolah ke kota (Solo). Kakak saya (yang sudah menjadi Katolik) mendaftarkan saya sebagai siswi beragama Katolik. Jadilah saya masuk kelompok siswa Katolik tanpa ide apapun mengenai Agama Katolik. Tidak ada yang menyuruh atau mendorong, sama seperti saat saya mulai mempelajari Agama Islam, saya memutuskan untuk ikut katekumen. Saya dibabtis saat kelas tiga SMP.
Saya cukup setia dengan doa , namun menjadi suster – itu jauh dari angan-angan. Saya ingin bekerja di luar Jawa, memiliki banyak uang dan mengunjungi tempat-tempat baru dan asing. Saya suka perjalanan. Kelak terbukti bahwa dengan menjadi suster, saya menembus batas-batas wilayah dan mengenal budaya berbagai negeri.
Selepas SMA saya melajutkan kuliah di Institut Pertanian Bogor (IPB). Pada saat di perguruan tinggi inilah sejarah panggilan saya dimulai. Ada dua peristiwa penting yang menjadi titik tolaknya. Saya mulai bertanya dalam hati, ”Tuhan , mengapa Kau ciptakan aku? Kalau hidup memiliki tujuan, apakah itu? Kalau hidup ini Kau kehendaki dan ada tujuannya, bagaimana saya harus mengisi hidup agar bermakna?” Peristiwa penting yang kedua terjadi ketika saya mengikuti misa minggu panggilan. Diakhir homili ada pertanyaan ini: ”Tuhan memanggil, siapakah yang akan menanggapi kalau bukan saya?” Sepulang dari misa, saya menyadari pertanyaan ini sepertinya untuk diri saya sendiri. Heroik, itulah yang saya rasakan. Ada dorongan untuk menjawab, berkorban dan hidup secara berbeda demi Tuhan. Saya mulai berangan-angan, apa jadinya kalau saya menanggapi ini?
Saya mulai memikirkan seandainya saya menjadi suster. Tuhan mulai mengacaukan pikiran dan hati saya. Hasilnya adalah jiwa yang gelisah. Saya ingin mengusirnya pergi namun saya tidak sanggup. Kiranya keluh kesah Nabi Yeremia persis menggambarkan dengan tepat kegelisahan saya “ …. maka dalam hatiku ada sesuatu yang seperti api menyala-nyala, terkurung dalam tulang-tulangku. Aku berlelah-lelah menahannya namun aku tidak sanggup (Yer. 20 :9). Tuhan membimbing saya langkah demi langkah bagaikan seorang guru mengajari muridnya.
Setelah lulus dari perguruan tinggai, saya memerlukan waktu dua tahun guna merenungkan dan menimbang panggilan tersebut. Dari buku petunjuk gereja saya tahu ada banyak sekali kongregasi. Namun satu – satunya kongregasi yang saya kenal waktu itu adalah salah satu kongregasi Fransiscan. Pikir saya waktu itu, ”Memang ada beda signifikan antar kongregasi? Bukankah mereka semua berjubah dan tidak menikah?”. Ach naifnya saya! Belakangan saya tahu bahwa setiap kongregasi memiliki karisma dan spiritualitasnya masing-masing.
Dalam keraguan dan kecemasan akan kebenaran pilihan saya, saya mengetuk pintu biara salah satu kongregasi Fransiskan. Saya sadar betul bahwa tidak akan ada tanda maupun jawaban pasti dari pencarian ini namun yang saya tahu adalah saya mengikuti dorongan hati terdalam dan yakin Tuhan akan menuntun saya.Tiga tahun saya jalani pendidikan postulan dan novisiat. Saya merasa pada saat itulah saya mulai mengenal Tuhan di dalam hidup saya dan saya menanggapi-Nya dengan penuh semangat.
Saat itu adalah saat saya dikelilingi dan dibantu para formator terbaik. Saya diajari bagaimana mengenal diri dan mengenal Tuhan, menambal yang luka maupun merangkul kelemahan. Beberapa pengajar adalah imam dari Serikat Yesus (SJ). Dari mereka saya mengenal Spiritualitas Ignasian dan salah satu di antaranya adalah semangat Magis, to be more. Saya belajar mengabdi-menghormati-memuliakan Allah melalui kehidupan sehari-hari yang sangat sederhana, dalam hal apa pun.
Kaul pertama terjadi tahun 1992. Perutusan pertama saya adalah belajar lalu mengajar. Pada tahun 1996 masa kegembiraan saya sebagai Suster fransiscanes pun berakhir. Saya tidak diterima untuk memperbaharui kaul. Artinya saya harus meninggalkan kongregasi yang sudah bagaikan ibu bagi saya. Sangat gelap, itulah gambaran saya akan masa itu.
Jika merenungkan kembali peristiwa itu maka saya menyadari bahwa saat itu merupakan titik terendah sekaligus titik balik di dalam hidup saya. Tuhan yang sangat mengenal saya hendak menuntun saya ke tempat yang baru – yang dikehendaki-Nya. Pada saat itu saya belum mampu menangkap maksud hati-Nya maka saya menggerutu, berulang kali, dan dengan sekuat tenaga. Kemarahan saya pada Tuhan tak terlukiskan . Saya merasa dikhianati. Itu terjadi selama tiga tahun.
Tiga tahun tersebut, yang saya isi dengan kuliah lagi sambil bekerja, sungguh masa yang sangat berat. Persis umat Israel yang marah, kesal, lelah, menggerutu, menuntut dan mengikuti kemauan sendiri, itu pula yang terjadi pada diri saya. Ada banyak sekali pertanyaan dan tak satu pun terjawab. Namun setelah dua tahun berdiam diri, Tuhan mulai angkat bicara.
Ketika terjadi gempa di Bantul tahun 2006, suster-suster FCJ membantu masyarakat mendirikan kembali rumahnya. Caranya adalah dengan memilih bahan-bahan dari rumah lama yang masih bisa dimanfaatkan dan menambah bahan baru yang diperlukan. Fondasi dan tiang-tiangnya dibangun dengan cara baru dengan harapan akan tahan gempa. Itu jualah yang dilakukan Tuhan padaku : membantu saya membangun bangunan baru dengan bahan lama yang telah menjadi puing namun masih bisa digunakan, dan dengan fondasi yang lebih kokoh.
Setelah dua tahun proses membangun kembali, saya menemukan bangunan hidup saya lebih indah dari pada yang sudah-sudah. Kata kuncinya adalah: ”Senantiasa berjalan dan tidak membiarkan diri berhenti karena putus asa. ” Itu menjadi awal hidup baru saya. Saya mmperbaharui lagi hubungan dengan Tuhan dan pada saat yang sama dipulihkan oleh-Nya. Iman saya menjadi lebih sederhana. Lebih jujur.
Pada akhir kuliah, sepertinya sudah jelas bahwa saya akan hidup melajang. Tuhan menggelisahkan hati dengan mempertanyakan CARA saya dalam mengambil keputusan : yakni dengan sepihak, tanpa mengikutsertakan Dia. Rasa itu sungguh menyesakkan hingga suatu kali saya menemui rama pembimbing rohani, seorang Yesuit. Beliau mengatakan begini ”Kegelisahanmu itu barangkali karena kamu berdiri di tempat yang salah”. Olehnya saya diberi kartu nama Kongregasi Suster FCJ. Tentu saja saya tidak dengan segera menanggapinya. Saya merasakan ketakutan dan kecemasan untuk masuk ke dunia yang sama kedua kalinya. Penundaan berlangsung berlarut – larut hingga pada akhirnya saya menulis dan mengirim surat perkenalan kepada Suster Barbara FCJ di Jogja. Bulan September 2001, pertamakali saya berkunjung ke biara FCJ di Yogya.
Dua tahun saya bolak-balik Jakarta-Yogya-Jakarta menggabungkan diri pada kelompok yang disebut d’Houet, yakni kelompok para perempuan yang berminat mengenal FCJ. Dua tahun pun berlalu, masih tanpa keberanian membuat keputusan. Dalam keraguan mengambil keputusan, Sr. Marion bertanya apakah saya siap menjadi postulan. Serta merta saya menjawab ”Ya.” Hati saya terasa hampa berisi kecemasan. Namun setiap kali menengok ke dasar hati terdalam, saya merasakan ketenangan, damai. Saya masih menawar, ”Tuhan, berilah saya suatu tanda.” Di dalam doa Tuhan menjawab, ” Kamu tidak akan diberi tanda. Sekarang tanyakan kepada dirimu sendiri. Apa yang paling kamu inginkan dari hidupmu? Apa yang kamu harapkan dari hidupmu? Apapun yang kamu pilih akan Kuberkati.”
Saya mengikrarkan kaul kekal pada tanggal 3 Januari 2010, bahagia, bangga dan terberkati menjadi suster FCJ. Cara Tuhan mendidik dan menyelami hati tetap tak terpahami. Perjalanan saya untuk sampai ke tempat ini berliku-liku namun keindahannya tak terperikan.(More…)